2024-06-12 07:57:30
rumah (foto: detik.com)Pada sensus tahun 1971, jumlah penduduk tercatat sebesar 119 juta jiwa, sementara pada sensus sesudahnya pada tahun 1980, jumlah penduduk meningkat menjadi 147 juta jiwa.
Jumlah penduduk yang mencapai 135 juta jiwa tersebut menjadi sorotan, terutama bagi Radinal Mochtar, Menteri Pekerjaan Umum pada masa itu, yang menyoroti kebutuhan akan pembangunan rumah.
Menurutnya, dengan jumlah penduduk sebanyak itu, diperlukan sekitar 440.000 unit rumah. Sementara itu, pada masa Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II periode 1974-1979, Presiden Soeharto menekankan pentingnya pembangunan 1,5 juta unit rumah yang sederhana namun menyenangkan untuk keluarga sebagai bagian dari pembentukan karakter dan jiwa melalui keluarga.
Perjalanan waktu terus berlanjut, dan pada periode 2015-2021, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat telah dibangun sebanyak 6,7 juta unit rumah. Meskipun jumlah ini telah melebihi target dari Presiden Soeharto, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa jumlah penduduk Indonesia terus berkembang pesat. Data sensus tahun 2020 mencatat jumlah penduduk mencapai sekitar 270 juta jiwa.
Namun, meskipun pembangunan rumah terus berlangsung, data dari Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR menunjukkan bahwa backlog rumah, yaitu jumlah unit rumah yang belum terpenuhi, masih cukup tinggi. Pada tahun 2023, backlog rumah mencapai 9,9 juta unit, meskipun angka ini menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya pada tahun 2020 yang mencapai 12,75 juta unit.
Tantangan ini memunculkan berbagai upaya dari pemerintah untuk menyediakan rumah subsidi dengan berbagai kebijakan, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Prasarana Sarana Utilitas Umum (PSU), dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Namun, upaya pemerintah dalam menyediakan rumah subsidi terkendala oleh alokasi anggaran yang terbatas. Pada tahun 2024, anggaran yang dialokasikan untuk rumah subsidi hanya sebesar Rp13,72 triliun, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat angka backlog rumah yang masih tinggi.
Tidak hanya itu, kekhawatiran juga muncul terkait kecurigaan masyarakat terhadap pengelolaan dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dianggap sebagai sumber potensial untuk subsidi rumah. Meskipun Tapera dapat menjadi sumber dana yang signifikan, terdapat kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dananya serta ketidakpastian dalam pengelolaannya.
Pada sisi lain, mekanisme penyaluran KPR subsidi melalui perbankan juga menimbulkan berbagai masalah, terutama terkait seleksi calon penerima yang terkadang tidak memprioritaskan mereka yang benar-benar membutuhkan.
Di samping itu, perbankan cenderung memilih konsumen dengan penghasilan tetap, sementara tujuan KPR subsidi seharusnya untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Fenomena ini sering kali memunculkan praktik-praktik tidak etis, seperti pemalsuan dokumen, yang berdampak pada meningkatnya risiko kredit bank.
Untuk mengatasi tantangan dalam penyediaan rumah subsidi, diperlukan terobosan dalam pengelolaan dana dan mekanisme penyaluran. Salah satu solusi yang diajukan adalah pemisahan pengelolaan KPR subsidi dari portofolio kredit bank, sehingga tidak lagi memengaruhi kolektibilitas kredit. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk program rumah subsidi dan memastikan penggunaan dana yang efisien dan transparan.
Meskipun demikian, untuk mencapai kesuksesan dalam penyediaan rumah subsidi, diperlukan kerjasama antara pemerintah, perbankan, dan masyarakat secara menyeluruh. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat mengatasi tantangan dalam penyediaan rumah bagi masyarakat Indonesia yang membutuhkan.