Pinjaman Konsumtif Pinjol Lampaui 50%, Ini Kata Pengamat

2024-07-23 02:13:43

News Image Ilustrasi Fintech P2P Lending (foto: The Jakarta Post)

Tingginya porsi pinjaman konsumtif di sektor fintech peer-to-peer (P2P) lending dibandingkan pinjaman produktif terus menjadi perhatian para pengamat. Data menunjukkan bahwa pada periode Februari hingga Mei 2024, lebih dari 50% pinjaman fintech P2P lending dialokasikan untuk sektor konsumtif.

Dilansir dari Bisnis.com pada Selasa (23/7/2024), Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan beberapa alasan di balik fenomena ini.

Huda menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama adalah risiko peminjaman dana ke badan usaha yang lebih tinggi dibandingkan pinjaman ke perorangan. Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat gagal bayar badan usaha mencapai 8%, sedangkan tingkat gagal bayar perorangan hanya 2%.

"Artinya, risiko peminjaman di badan usaha lebih tinggi," ujar Huda.

Selain itu, Huda menyoroti bahwa manfaat imbal hasil di sektor konsumtif lebih besar dibandingkan sektor produktif. Bunga harian di sektor produktif hanya mencapai 0,1% per hari, sedangkan di sektor konsumtif bisa mencapai 0,3%.

Hal ini membuat lender lebih memilih untuk menyalurkan dananya ke sektor konsumtif. "Sebagai lender, ketika ada pilihan dengan risiko yang sama namun bunga manfaat lebih tinggi, tentu pilihannya adalah sektor konsumsi," tambahnya.

Lebih lanjut, Huda menyebutkan bahwa pangsa pasar sektor konsumtif memang lebih besar. Sementara itu, sektor produktif terbatas pada usaha mikro dan ultra mikro. Namun, Huda menyambut positif rencana OJK untuk menaikkan batas atas pendanaan fintech P2P lending yang saat ini hanya mencapai Rp2 miliar.

Menurutnya, strategi ini dapat mendongkrak penyaluran ke sektor produktif karena cakupan pengusaha akan menjadi lebih luas.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua platform P2P lending dapat menyalurkan pinjaman di atas Rp2 miliar. Ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, seperti tingkat wanprestasi selama 90 hari (TWP90) yang tidak boleh lebih dari 5%, penyaluran dana ke sektor produktif harus lebih dari 50%, dan pemenuhan modal minimal tertentu.

Syarat-syarat ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan lender untuk memberikan pinjaman dalam jumlah besar. "Wacana kenaikan pagu pendanaan dari Rp2 miliar ke Rp10 miliar harus dipertimbangkan karena manfaatnya ada," tegas Huda.

Peningkatan Risiko Gagal Bayar

Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi mengkhawatirkan bahwa kenaikan batas pendanaan tersebut justru dapat meningkatkan risiko gagal bayar. Ia menyoroti bahwa dengan batas pendanaan Rp2 miliar saja, isu gagal bayar fintech lending masih ada.

"Sebaiknya benahi dulu masalah yang ada sekarang dan selesaikan isu gagal bayar. Platform harus diedukasi agar tidak sembarangan memberikan pinjaman, dan masyarakat juga harus dicerdaskan agar menggunakan pinjaman untuk hal yang positif dan produktif," katanya.

Heru juga menyarankan agar layanan fintech P2P lending dihentikan sementara untuk memperbaiki aturan dan model pembiayaan yang ada. Menurutnya, perlu ada penyaringan yang ketat sebelum memberikan pinjaman, termasuk evaluasi mengenai pemanfaatan dana tersebut.

"Seperti di bank, ada asesmen sebelum mendapatkan pinjaman, misalnya untuk pembiayaan proyek, lokasi proyek, dan cara pembayarannya," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Yasmine Meylia Sembiring, menyatakan bahwa pendanaan konsumtif, khususnya multiguna, diminati karena proses penyalurannya yang lebih cepat dan mudah dibandingkan lembaga keuangan konvensional.

"Ini menarik bagi individu yang membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan mendesak, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah," ungkapnya.

OJK sendiri menyatakan bahwa rencana kenaikan batas atas pinjaman fintech lending masih dalam tahap penyempurnaan. Regulator mempertimbangkan pandangan dan masukan dari berbagai pihak sebelum menyempurnakan aturan tersebut.

Kenaikan batas atas ini hanya berlaku untuk pendanaan produktif, bukan konsumtif. Selain itu, penyelenggara harus memenuhi kriteria tertentu, seperti TWP90 maksimum 5%.

Dengan penurunan porsi pembiayaan ke sektor produktif dalam beberapa bulan terakhir, OJK berharap bahwa aturan baru ini dapat mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.

Baca Juga

Semua Berita