2024-06-22 03:09:41
Kantor Bank Indonesia (foto: Bisnis.com)Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan kebijakan baru terkait Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) bank melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2024.
Dilansir dari Kontan pada Sabtu (22/6/2024), Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan pendanaan bank dari luar negeri dan bukan sebagai respons terhadap melemahnya mata uang rupiah belakangan ini.
Juda menjelaskan bahwa aturan ini mengatur batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek terhadap modal bank dengan lebih dinamis, berbeda dengan PBI sebelumnya yang menetapkan batas maksimum sebesar 30% secara tetap.
Dalam kebijakan baru ini, batas maksimum bisa berubah dengan tambahan atau pengurangan sebesar 5%, tergantung pada siklus ekonomi. "Kalau di PBI yang lama kan sudah diatur 30% tapi fix, yang baru bisa dinamis tergantung siklus ekonomi," ujar Juda.
Juda juga menambahkan bahwa saat ini belum ada bank yang menyentuh RPLN lebih dari 20%, termasuk setelah menghitung pengecualian terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) kantor cabang bank di luar negeri yang disalurkan ke non-residen.
Aturan baru nantinya akan memasukkan pengecualian tersebut sehingga tidak akan termasuk dalam perhitungan RPLN. "Kalau belum menghitung pengecualian tersebut, hanya satu bank yang di atas 20%," tambahnya.
Corporate Treasury Bank DBS Indonesia, Danny Daniel Simatupang, menyambut baik kebijakan baru ini. Ia menilai aturan ini akan membantu perbankan dengan adanya tambahan limit dari parameter kontrasiklikal. "Hal ini akan memperkuat sumber pendanaan bank di saat yang diperlukan, dan terutama dalam mata uang asing," ujarnya.
Danny menjelaskan bahwa saat ini sumber pendanaan Bank DBS masih didominasi oleh sumber pendanaan dalam negeri, dengan nasabah dari dalam negeri. Komposisi pendanaan luar negeri bank DBS lebih banyak digunakan untuk menjaga balance dari nasabah-nasabah non-residen, sesuai dengan kebijakan utang luar negeri (ULN) yang sudah ada. "Sehingga rasio ULN bank tergolong rendah di bawah 5%," katanya.
Direktur Keuangan BNI, Novita Widya Anggraini, mengatakan bahwa kebijakan ini akan mendukung BNI dalam mengelola likuiditas valas, khususnya terkait utang luar negeri dan pendanaan yang berasal dari non-residen, secara lebih efektif dan prudent.
Novita menambahkan bahwa BNI akan diuntungkan dengan pengaturan baru mengenai definisi dan cakupan pendanaan luar negeri dalam perhitungan batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek.
Dengan pengecualian komponen perhitungan utang luar negeri jangka pendek atas DPK dari Kantor Luar Negeri (KLN) BNI, bank dapat mengoptimalkan pemanfaatan DPK dari KLN untuk memperkuat likuiditas valas.
Saat ini, BNI memiliki KLN di New York, London, Singapura, Hong Kong, Tokyo, Seoul, dan Amsterdam. "Dengan adanya pengecualian ini, BNI dapat mengoptimalkan pemanfaatan DPK dari KLN untuk memperkuat likuiditas valas," ujarnya.
Baru-baru ini, BNI juga mencari pendanaan luar negeri dalam bentuk global bond senilai US$ 500 juta untuk mendiversifikasi sumber pendanaan dan ekspansi kredit dalam mata uang asing.
Pengamat perbankan, Doddy Ariefianto, berpendapat bahwa kebijakan ini akan lebih dirasakan oleh bank-bank bermodal besar, terutama yang memiliki modal di atas Rp 30 triliun.
Menurutnya, saat ini bank-bank tersebut cenderung bersikap konservatif dan tidak banyak memanfaatkan pendanaan luar negeri. Artinya, aturan ini hanya bersifat jaga-jaga jika nantinya dibutuhkan. "Mungkin BI melihat beberapa bank ini memungkinkan untuk mencari pendanaan luar negeri lebih besar," ujarnya.
Doddy juga melihat manfaat dari pendanaan luar negeri sebagai diversifikasi dengan suku bunga yang masih cukup rendah saat ini. Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko jika nilai tukar rupiah melemah.