2024-08-12 00:38:14
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae (foto: Bisnis.com)Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkapkan perkembangan kebijakan terkait penghapusan tagihan kredit macet. Kebijakan ini nantinya akan diterapkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk bank, serta Lembaga Jasa Keuangan (LJK) non-bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Edina Rae, menyatakan bahwa kebijakan penghapusan tagihan tersebut telah dirumuskan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sedang disiapkan.
Kebijakan ini tidak akan berlaku secara menyeluruh untuk semua kredit yang telah dihapus buku oleh bank, melainkan hanya untuk debitur yang memenuhi kriteria tertentu.
Menurut Dian, kredit yang akan dihapus tagih adalah kredit yang sudah dihapus dari neraca bank dan telah disisihkan sebagai cadangan kerugian penurunan nilai sebesar 100%.
Dengan demikian, kredit tersebut telah dibiayakan sebelumnya oleh bank. Lebih lanjut, Dian menambahkan bahwa penghapusan tagihan ini tidak akan dianggap sebagai kerugian negara, sesuai dengan ketentuan dalam RPP.
Sebelumnya, Dian mengungkapkan bahwa praktik penghapusan buku dan tagihan terhadap kredit macet, khususnya kredit UMKM, sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh perbankan swasta.
Namun, tantangan muncul ketika kebijakan serupa diterapkan pada bank-bank milik negara atau BUMN. Dian menyoroti bahwa hal ini disebabkan oleh adanya komponen kekayaan negara yang disisihkan dalam bank-bank BUMN, yang membuat proses penghapusan tagihan ini menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan bank swasta.
Bank-bank milik negara, yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), menghadapi tantangan besar dalam melaksanakan penghapusan buku dan tagihan kredit macet.
Oleh karena itu, kebijakan baru ini bertujuan untuk mempermudah bank-bank BUMN dalam menjalankan penghapusan buku dan tagihan tanpa harus khawatir dianggap sebagai kerugian negara.
Dengan adanya aturan ini, penghapusan buku kredit macet UMKM di bank BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, melainkan sebagai kerugian yang dapat dihapus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Terkait dengan kondisi penghapusan buku di Himbara, sejumlah bank mencatatkan peningkatan nilai penghapusan buku kredit macet mereka pada semester pertama tahun 2024.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), misalnya, mencatatkan nilai penghapusan buku kredit macet sebesar Rp10,8 triliun per Juni 2024, yang naik dibandingkan dengan Rp10,4 triliun pada Maret 2024.
Dilansir dari Bisnis.com pada Senin (12/8/2024), Direktur Utama BRI, Sunarso, menjelaskan bahwa dalam menghadapi kredit macet, khususnya di segmen UMKM, BRI juga melaksanakan penghapusan buku. Sunarso menekankan bahwa meskipun kredit dihapus buku, upaya penagihan tetap dilakukan oleh bank.
Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) melaporkan nilai penghapusan buku kredit macet sebesar Rp7,37 triliun per Juni 2024, yang meningkat dibandingkan dengan Rp7,23 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) belum merilis laporan keuangan untuk semester pertama tahun 2024, namun berdasarkan laporan keuangan kuartal pertama 2024, BNI mencatat nilai penghapusan buku kredit macet sebesar Rp3,92 triliun, naik dibandingkan Rp2,7 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, mengingatkan pentingnya kesiapan dalam menerapkan kebijakan penghapusan tagihan kredit macet.
Ia menekankan bahwa kebijakan ini harus diterapkan dengan hati-hati untuk menghindari risiko moral hazard yang bisa terjadi jika penghapusan kredit dilakukan tanpa pertimbangan matang. Meski demikian, Royke memastikan bahwa penghapusan buku yang dilakukan oleh BNI tidak berdampak negatif terhadap kinerja keuangan bank.
Secara keseluruhan, penerapan aturan baru terkait penghapusan tagihan kredit macet di bank-bank BUMN ini diharapkan dapat memberikan kelonggaran bagi bank-bank tersebut dalam menangani kredit macet, khususnya di segmen UMKM, tanpa menimbulkan kekhawatiran akan kerugian negara.