2024-12-04 13:04:14
Tampilan rumah subsidi di Jabodetabek. Sumber: Kompas.comPenjualan rumah tapak di kawasan Jabodetabek mengalami penurunan signifikan pada tahun 2024. Dilansir dari CNBC Indonesia, angka penjualan hingga kuartal III tahun ini hanya mencapai sekitar 7.000 unit. Dibandingkan dengan total 14.000 unit yang terjual sepanjang tahun 2023, penurunan tersebut mencapai 50%. Hingga akhir tahun, diperkirakan jumlah penjualan hanya berkisar antara 10.000 hingga 11.000 unit, menandai penurunan sebesar 25% secara tahunan.
Associate Director Leads Property, Martin Samuel Hutapea mengungkapkan bahwa lemahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu penyebab utama turunnya penjualan rumah.
"Faktor daya beli hubungannya juga sama price-sensitive, harga," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip oleh Komparase, Rabu (04/12/2024).
Kenaikan harga rumah juga memperparah situasi. Riset Leads Property menunjukkan bahwa kenaikan harga rumah di Jabodetabek paling tinggi terjadi di Depok, mencapai 12%, diikuti Jakarta sebesar 5%, dan Bogor 3%. Dampaknya, konsumen semakin sulit menjangkau harga properti yang melonjak, membuat sebagian besar calon pembeli menunda atau bahkan membatalkan pembelian.
Salah satu tantangan yang dihadapi pengembang adalah maraknya pembatalan pembelian rumah. Banyak calon pembeli membatalkan pembayaran uang muka (DP) atau booking fee akibat harapan akan program rumah subsidi pemerintah.
"Program 3 juta rumah per tahun membuat masyarakat berharap ada rumah gratis, sehingga banyak yang menunda pembelian," jelas Martin.
Hal ini memaksa beberapa pengembang mengambil langkah drastis, seperti menurunkan harga rumah secara signifikan. Sebagai contoh, salah satu proyek di Sawangan, Depok awalnya meluncurkan rumah dengan harga Rp 1,5 miliar yang kemudian naik menjadi Rp 2 miliar. Namun, untuk meningkatkan daya serap pasar, harga rumah tersebut kini dipangkas hingga Rp 800 jutaan dengan spesifikasi yang disesuaikan.
Penurunan daya serap juga terlihat dari data kuartal III 2024, di mana hanya 1.900 unit yang terjual dari total tambahan pasokan sebesar 2.800 unit. Sebagian besar penyerapannya terjadi di wilayah Tangerang. Martin menekankan pentingnya strategi pengembang dalam menciptakan produk yang "absorbable" atau mudah diterima pasar.
"Developer harus pintar-pintar cari produk yang sesuai dengan daya beli masyarakat," tambah Martin.
Industri properti juga menghadapi ancaman lain, yaitu rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tanpa perpanjangan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku hingga akhir Desember 2024. Menurut Martin, penyerapan pasar bisa turun lebih jauh hingga 10-15% jika insentif tersebut tidak diperpanjang.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, juga menyebut bahwa wacana rumah gratis semakin membingungkan masyarakat dan pengembang. "Ketika industri properti disampaikan ada rumah gratis, maka kami-kami ini (pengembang) akan bubar," ungkapnya.
Penurunan ini menjadi tantangan berat, terutama bagi pengembang yang fokus pada rumah menengah bawah dan rumah subsidi. Kenaikan harga bahan baku dan lahan turut menekan kemampuan pengembang untuk menawarkan produk yang kompetitif.
Dengan kondisi seperti ini, langkah strategis diperlukan untuk mendorong kembali daya beli masyarakat, seperti menurunkan harga, menyesuaikan spesifikasi, hingga memaksimalkan insentif dari pemerintah. Dukungan pemerintah dalam bentuk perpanjangan insentif pajak juga menjadi harapan besar bagi industri properti agar sektor ini kembali bergairah.
Writer