BPJS Kesehatan Terapkan Teknologi Pengenalan Wajah untuk Cegah Klaim Palsu di Rumah Sakit

2024-08-09 02:42:15

News Image Loket BPJS Kesehatan di Samarinda (foto: Kompas Money)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tengah mengembangkan langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasan terhadap klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diajukan oleh rumah sakit.

Salah satu teknologi yang sedang diujicobakan adalah teknologi pengenalan wajah atau face recognition, yang diharapkan dapat mencegah terjadinya kecurangan atau klaim fiktif yang merugikan negara.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memulai proyek percontohan teknologi ini di sejumlah rumah sakit di Indonesia.

Meskipun demikian, penerapan teknologi tersebut masih terbatas dan belum dilakukan secara serentak di seluruh rumah sakit. "Ke depan, dengan teknologi ini, jika ada peserta yang datang untuk mengajukan klaim yang tidak sah, wajahnya akan otomatis dikenali oleh sistem sehingga bisa dipastikan apakah dia benar-benar peserta yang berhak atau bukan," ujar Ghufron sebagaimana dilansir dari Bisnis.com pada Jumat (9/8/2024).

Menurut Ghufron, teknologi pengenalan wajah ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi modus lain yang sering terjadi di rumah sakit, seperti klaim fiktif yang diajukan oleh rumah sakit tanpa adanya pasien JKN yang nyata.

Dalam sistem ini, setiap rumah sakit nantinya akan diminta untuk mengadopsi teknologi tersebut. Ghufron menegaskan bahwa investasi untuk pengadaan teknologi ini relatif murah dan tidak memerlukan bantuan pemerintah.

"Biayanya sangat terjangkau, bahkan hanya dengan menggunakan ponsel pun bisa. Jika dibandingkan dengan potensi klaim yang bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, biaya pengadaan teknologi ini hampir tidak ada artinya. Murah sekali," tambahnya.

Lebih lanjut, Ghufron menjelaskan bahwa pengawasan BPJS Kesehatan terhadap operasional rumah sakit di Indonesia saat ini sudah sangat maju. Bahkan, ia berani membandingkan sistem pengawasan ini dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat.

"BPJS Kesehatan ini sudah sangat canggih. Kami berani dibandingkan dengan Amerika dalam hal pengawasan rumah sakit. Kami bisa memantau perilaku seluruh rumah sakit di Indonesia. Bahkan, bukan hanya rumah sakit, kami juga bisa memantau dokter di rumah sakit mana pun, berapa banyak operasi yang dilakukan setiap hari, semuanya tercatat. Ini adalah sistem yang sangat maju," tegasnya.

Meskipun begitu, Ghufron tidak menyebutkan target waktu kapan teknologi ini akan diterapkan secara luas di seluruh rumah sakit di Indonesia. Namun, ia berharap agar implementasi teknologi ini dapat segera dilakukan untuk menekan angka kecurangan yang terjadi.

Klaim Fiktif JKN Rugikan Negara Puluhan Miliar

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan kecurangan terkait klaim JKN yang menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp35 miliar.

Berdasarkan audit yang dilakukan oleh tim gabungan dari KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPJS Kesehatan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan bahwa dari sampel enam rumah sakit yang diaudit, tiga di antaranya diduga melakukan kecurangan dengan modus phantom billing, yaitu merekayasa seluruh dokumen pendukung klaim JKN.

Dalam rinciannya, satu rumah sakit di Jawa Tengah terindikasi melakukan klaim fiktif senilai Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Sementara itu, satu rumah sakit di Sumatra Utara terindikasi melakukan kecurangan dengan nilai klaim sebesar Rp1 miliar hingga Rp3 miliar, dan satu rumah sakit lainnya diduga melakukan klaim fiktif senilai Rp4 miliar hingga Rp10 miliar. 

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menjelaskan bahwa ada dua modus utama yang digunakan oleh rumah sakit dalam melakukan kecurangan ini, yaitu phantom billing dan manipulation diagnosis.

"Perbedaannya, pada phantom billing, orangnya tidak ada, terapinya juga tidak ada, tetapi klaimnya tetap diajukan. Sedangkan pada manipulation diagnosis, pasiennya ada, terapinya ada, tetapi klaim yang diajukan melebihi yang seharusnya. Terapi yang seharusnya dilakukan dua kali bisa diklaim sepuluh kali," jelas Pahala.

Teknologi pengenalan wajah ini diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mencegah berbagai bentuk kecurangan yang merugikan negara dan memperbaiki sistem layanan kesehatan di Indonesia.

Baca Juga

Semua Berita