KPK Ungkap Praktik Klaim Fiktif JKN yang Rugikan Negara Rp35 Miliar

2024-07-25 05:22:07

News Image Situasi di Kantor BPJS Kesehatan (foto: Tempo.co)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkap praktik kecurangan berupa klaim fiktif pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang melibatkan beberapa individu dalam sebuah komplotan.

Bersama dengan BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), KPK menemukan indikasi kuat adanya praktik kecurangan di beberapa rumah sakit atau fasilitas kesehatan.

Dilansir dari Bisnis.com pada Rabu (25/7/2024), Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menjelaskan bahwa praktik ini melibatkan klaim palsu atau pengajuan klaim atas layanan yang sebenarnya tidak pernah diberikan.

Dalam beberapa kasus, ditemukan modus dengan memberikan diagnosis yang berbeda untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Komplotan ini bekerja dengan peran yang berbeda-beda, termasuk menggelembungkan jumlah klaim yang ditagihkan ke BPJS.

Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan dokumen pribadi pasien yang sebenarnya tidak menggunakan layanan yang dijamin BPJS.

"Dia mengumpulkan dokumen pasien, seperti KTP, KK, dan kartu BPJS, melalui kegiatan bakti sosial yang bekerja sama dengan kepala desa. Modus ini sudah sangat canggih, niatnya memang untuk mengumpulkan KTP dan kartu BPJS.

Dia [oknum] mengeluarkan surat eligible peserta, ada dokternya segala macam, yang sebenarnya sudah tidak lagi bekerja di situ, tetapi dia tetap menandatanganinya. Jadi ini memang komplotan sebenarnya," jelas Pahala di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/7/2024).

Anggota komplotan ini juga diduga menandatangani rekam medis, catatan program pasien, pemeriksaan penunjang, serta melengkapi persyaratan lainnya untuk mengajukan klaim.

Pahala menegaskan bahwa praktik kecurangan ini tidak hanya melibatkan satu orang, tetapi juga dokter hingga pihak direksi atau manajemen tertinggi rumah sakit. "Mengapa klaim fiktif ini menjadi perhatian kita? Karena tidak mungkin hanya satu orang yang menjalankan, tidak mungkin hanya dokter yang menjalankan. Yang kita temukan hingga melibatkan pemilik-pemiliknya, hingga direkturnya," jelasnya.

Total Kerugian Rp35 Miliar

Dari audit klaim BPJS, tim gabungan KPK, Kemenkes, serta BPJS melakukan pengumpulan bahan keterangan di lapangan. Hasilnya, dari enam rumah sakit di tiga provinsi, tiga rumah sakit diduga terlibat kecurangan berupa phantom billing dengan kerugian keuangan negara sekitar Rp35 miliar.

Tiga rumah sakit yang terindikasi kecurangan meliputi dua rumah sakit di Sumatra Utara dan satu di Jawa Tengah. Modus yang digunakan adalah merekayasa seluruh dokumen pendukung klaim JKN.

Salah satu rumah sakit di Jawa Tengah terindikasi memiliki klaim fiktif terbesar, yakni di kisaran Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, sementara dua rumah sakit di Sumatra Utara masing-masing terindikasi kecurangan senilai Rp1 miliar hingga Rp3 miliar dan Rp4 miliar hingga Rp10 miliar.

Temuan ini telah dipaparkan kepada pimpinan KPK dan disepakati untuk ditindaklanjuti sebagai dugaan korupsi. Selain itu, KPK, Kemenkes, dan BPJS Kesehatan memberikan waktu enam bulan bagi fasilitas kesehatan lainnya yang diduga terlibat kecurangan untuk melakukan koreksi dan mengembalikan kerugian negara ke BPJS Kesehatan.

Jika tidak dilakukan, maka dugaan kecurangan tersebut bisa ditindaklanjuti secara pidana.

Dalam pengungkapannya, Pahala menyebut bahwa praktik kecurangan ini tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. "Kecurangan ini melibatkan banyak pihak, dari dokter hingga manajemen tertinggi rumah sakit. Kami menemukan bukti bahwa pemilik hingga direksi terlibat dalam modus operandi ini," tegasnya.

Tim gabungan KPK, Kemenkes, dan BPJS Kesehatan terus mengumpulkan bukti dan informasi terkait praktik kecurangan ini. Dengan adanya temuan ini, diharapkan pihak-pihak terkait dapat segera melakukan tindakan korektif dan mengembalikan kerugian negara.

Jika dalam enam bulan tidak ada perbaikan, maka kasus ini akan ditindaklanjuti melalui jalur hukum pidana. "Kami memberikan waktu bagi mereka untuk melakukan koreksi. Jika tidak, maka akan ada konsekuensi hukum yang harus mereka hadapi," tutup Pahala.

Baca Juga

Semua Berita