Penyaluran Kredit Pertambangan di 3 Bank Jumbo Indonesia: Masih Optimal

2024-06-13 05:17:28

News Image Tambang Batu Bara di Siberia, Rusia (foto: detik.com)

Laju penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan penggalian terus mengalami peningkatan, seiring dengan upaya perbankan yang giat menyalurkan pembiayaan hijau untuk mendukung transisi ke arah keberlanjutan.

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit ke sektor pertambangan mencapai Rp307,84 triliun per Maret 2024, yang menunjukkan pertumbuhan sebesar 29,77% year-on-year (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp237,22 triliun.

Secara bulanan, kredit pada sektor ini mengalami peningkatan sebesar Rp8,13 triliun dari posisi Februari 2024 yang senilai Rp299,71 triliun.

Selain itu, dari sisi rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada sektor pertambangan dan penggalian tercatat mengalami perbaikan, dari 2,31% per Maret 2023 menjadi 1,24% pada Maret 2024 dengan nominal NPL sebesar Rp3,81 triliun.

Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan bahwa meskipun penyaluran kredit ke sektor tambang, khususnya batu bara, menunjukkan peningkatan, sektor ini masih dibayangi oleh risiko harga di pasar ekspor yang belum membaik.

Menurutnya, perbankan cenderung lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan ke sektor ini. Secara porsi, kredit pertambangan masih berada di bawah 5% secara industri dengan kontribusi pada pangsa pasar hanya sebesar 4,25%.

Kredit dengan pangsa pasar terbesar justru berada pada sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, serta pertanian, perburuan, dan kehutanan, masing-masing sebesar 16,1%; 15,58%; dan 6,96%.

Bhima juga menambahkan bahwa harga batu bara secara year on year berada di teritori negatif. Prospek batu bara juga terkendala oleh rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di dalam negeri, meskipun baru dua PLTU yakni Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu yang masuk dalam daftar rencana transisi Just Energy Transition Partnership (JETP).

Selain itu, Bhima menjelaskan bahwa beberapa investor yang menjadi mitra bank domestik mulai menjauh dari batu bara karena komitmen mereka terhadap pengurangan emisi karbon dalam portofolio investasinya.

Kondisi ini mendorong bank domestik untuk melakukan diversifikasi portofolio. Sementara itu, di sektor tambang nikel terdapat masalah oversupply dan kemampuan smelter yang terbatas dalam menyerap bijih nikel. Pengembangan teknologi baterai non-nikel juga mempengaruhi minat perbankan untuk gencar membiayai sektor nikel pada tahun depan.

Bhima menyebutkan bahwa peningkatan kredit terhadap sektor ini disebabkan oleh adanya pembelian alat berat dan biaya operasional. Meskipun demikian, perbankan tetap harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor pertambangan mengingat fluktuasi harga komoditas dan tekanan dari investor yang semakin memperhatikan aspek keberlanjutan.

Secara keseluruhan, peningkatan penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan penggalian menunjukkan upaya perbankan dalam mendukung transisi hijau dan keberlanjutan. Namun, tantangan seperti fluktuasi harga komoditas dan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon memerlukan strategi yang hati-hati dan diversifikasi portofolio untuk mengelola risiko yang ada.

BCA: Kredit Pertambangan Bergantung pada Pasar dan Politik Global

PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) melaporkan bahwa penyaluran kredit ke sektor pertambangan akan disesuaikan dengan perkembangan harga komoditas, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental seperti permintaan dan pasokan global.

Dilansir dari Bisnis.com pada Kamis (13/6/2024), EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, menyatakan bahwa prospek sektor ini ke depan sangat bergantung pada kondisi perekonomian global dan dinamika geopolitik. "Pada prinsipnya, BCA konsisten mendukung semua kebijakan pemerintah di berbagai sektor yang sesuai dengan kaidah perbankan serta ketentuan hukum yang berlaku," ujarnya.

Hera mengungkapkan bahwa saat ini perseroan memiliki portofolio pembiayaan untuk debitur yang bergerak di kegiatan hilirisasi pertambangan. Ini juga merupakan bagian dari dukungan BCA terhadap ekosistem industri mobil listrik dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia. 

Sebagai informasi, kredit korporasi BCA tercatat tumbuh 22,1% yoy menjadi Rp389,2 triliun pada periode yang sama. Sektor jasa keuangan dan pertambangan non-migas merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan kredit korporasi perseroan.

Kredit Pertambangan di BRI dan Mandiri

Dari kelompok Himbara, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) mencatat bahwa porsi penyaluran kredit ke sektor batu bara mencapai 4,3% dari total nilai kredit bank only per Maret 2024. Porsi ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode Maret 2023 yang hanya mencapai 2,8% dari total kredit bank only. Kredit bank only Bank Mandiri tercatat mencapai Rp1.113,89 triliun per Maret 2024.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), Royke Tumilaar, menyatakan bahwa sejauh ini perseroan telah menyalurkan kredit ke sektor tambang sebesar Rp41 triliun. Perseroan mencatat peningkatan porsi kredit batu bara yang kini berada di level 3,8% pada kuartal I/2024, meningkat dari sebelumnya 3,1% terhadap total kredit bank only

Meski demikian, manajemen BNI memastikan bahwa dalam pembiayaan batu bara, perseroan menerapkan pengawasan ketat sesuai dengan panduan yang berlaku, baik untuk pertambangan batu bara maupun usaha pendukungnya seperti pedagang dan pemasok alat berat.

Pembiayaan untuk penambangan batu bara hanya diberikan kepada perusahaan tingkat atas yang memiliki praktik ESG yang baik, serta debitur yang setuju untuk mematuhi klausul perjanjian pinjaman bahwa mereka akan mematuhi semua peraturan lingkungan yang berlaku dan menyediakan dokumentasi yang diperlukan. "Kegagalan untuk memenuhi hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan pinjaman," tulis manajemen dalam presentasi perusahaan yang dikutip Rabu (12/6/2024).

Baca Juga

Semua Berita