2024-11-03 09:44:34
Mesin Diesel. Sumber foto: otomotif.sindonews.comMobil diesel masih populer di kalangan konsumen Indonesia, terutama dengan ketersediaan bahan bakar bersubsidi Bio Solar yang harganya lebih terjangkau, yaitu Rp6.800 per liter. Meski memberi penghematan langsung, penggunaan Bio Solar pada mobil diesel juga membawa beberapa konsekuensi yang berbeda dibandingkan solar non-subsidi yang memiliki harga di atas Rp12.000 per liter.
Rohmat Hidayat, pemilik bengkel spesialis diesel Dat’s Engineering, menjelaskan bahwa penggunaan Bio Solar memang lebih murah, namun penggunaannya membawa konsekuensi dalam performa dan perawatan yang harus diperhatikan oleh pemilik mobil diesel.
“Tantangan pakai BBM Bio Solar pada mesin diesel dibandingkan dengan diesel yang memiliki kualitas lebih baik, pertama jelas untuk tenaga pasti terasa kurang jika menggunakan solar berkualitas rendah. Karena beda racikan di sulfur dan cetane di kedua jenis BBM tersebut,” jelas Rohmat saat diwawancarai pada Senin (30/9) dikutip dari Otodriver.com.
Perbedaan kualitas pada Bio Solar dan solar non-subsidi berpengaruh pada performa mesin diesel. Diesel non-subsidi dengan cetane lebih tinggi menghasilkan pembakaran yang lebih bersih dan efisien, sehingga tenaga mesin lebih optimal. Sementara itu, Bio Solar memiliki kandungan sulfur lebih tinggi dan cetane lebih rendah, membuat tenaga mesin cenderung kurang responsif.
Penggunaan Bio Solar menuntut perhatian lebih pada perawatan berkala dibandingkan solar non-subsidi. Kandungan sulfur yang tinggi dalam Bio Solar dapat menyumbat filter solar dan komponen bahan bakar lainnya, seperti injektor.
"Pengguna Bio Solar perlu lebih tepat waktu dalam pergantian filter solar atau komponen lainnya yang berhubungan dengan jalur solar pada mesin," tambah Rohmat.
Untuk menjaga kelancaran mesin, pemilik mobil diesel yang memakai Bio Solar disarankan mengganti filter solar setiap 5.000 hingga 10.000 km, sementara pemilik yang menggunakan solar non-subsidi dapat memperpanjang interval penggantian karena bahan bakarnya lebih bersih.
Selain penggantian filter, purging atau pembersihan jalur bahan bakar juga menjadi kebutuhan bagi pengguna Bio Solar. Rohmat merekomendasikan pemilik mobil diesel yang menggunakan Bio Solar melakukan purging setiap 20.000 km untuk mencegah residu mengendap di sistem bahan bakar.
“Khusus pengguna solar subsidi, untuk filter solar baiknya diganti per 5.000 km hingga 10.000 km. Sedangkan untuk purging di 20.000 km sekali,” anjurnya.
Komponen lain seperti EGR (Exhaust Gas Recirculation) dan turbo juga lebih cepat kotor jika menggunakan Bio Solar. Kotoran dari pembakaran cenderung menumpuk lebih cepat pada EGR, yang dirancang untuk mengurangi emisi. Alhasil, pengguna Bio Solar perlu melakukan pembersihan lebih sering dibandingkan solar non-subsidi yang menjaga mesin lebih bersih dan mengurangi kebutuhan perawatan rutin.
Penggunaan Bio Solar yang memiliki kandungan sulfur lebih tinggi berisiko mempercepat korosi dan penumpukan karbon, yang dalam jangka panjang dapat memperpendek umur komponen seperti injektor dan turbo. Solar non-subsidi, dengan kualitas yang lebih baik, membantu mengurangi risiko ini, sehingga umur komponen lebih panjang dan interval perawatan lebih panjang.
Bagi pemilik mobil diesel yang memilih Bio Solar, penekanan pada harga murah di awal mungkin mendatangkan konsekuensi berupa perawatan ekstra dan risiko perbaikan komponen yang lebih sering.
Secara langsung, penggunaan Bio Solar menawarkan penghematan harian yang jelas bagi pengguna mobil diesel. Namun, biaya tambahan dari perawatan, seperti pergantian filter, purging, dan pembersihan komponen membuat biaya total perawatan bertambah. Harga solar non-subsidi yang di atas Rp12.000 per liter mungkin tampak lebih tinggi di awal, tetapi secara total, solar non-subsidi memberikan kemudahan perawatan lebih rendah karena minim residu, interval perawatan lebih panjang, dan pengurangan kebutuhan purging serta pembersihan komponen mesin.
Writer