2024-12-11 17:17:51
Bank Indonesia dan Bankir. (foto: medcom.id)Kondisi likuiditas perbankan di Indonesia menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Sejumlah bankir mengemukakan bahwa terjadi persaingan ketat untuk mendapatkan likuiditas di pasar, yang disebabkan oleh kebijakan pengetatan. Namun, Bank Indonesia (BI) memiliki pandangan yang berbeda. Menurut BI, likuiditas perbankan di Indonesia justru masih berada dalam kondisi yang longgar.
Hal ini diungkapkan dalam laporan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024 oleh Gubernur BI Perry Warjiyo. Perry menjelaskan bahwa kondisi longgarnya likuiditas tercermin dalam pemenuhan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Rasio ini mengacu pada kewajiban bank untuk menyimpan dana dalam bentuk instrumen likuid seperti Surat Berharga Negara (SBN).
BI bahkan telah menurunkan kewajiban PLM pada 2023 sebesar 100 basis poin menjadi 5% untuk Bank Umum Konvensional dan 3,5% untuk Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah. Meski demikian, banyak bank menunjukkan rasio PLM jauh lebih tinggi, bahkan mencapai di atas 20%.
Dilansir dari Kontan.com, secara detail, data BI menunjukkan bahwa 73 bank memiliki rasio PLM lebih dari 20%, sementara 28 bank lainnya berada pada rentang 10%-20%. Perry menilai kondisi ini mencerminkan kecenderungan bank untuk menempatkan kelebihan likuiditas pada SBN atau surat berharga lain, terutama karena permintaan kredit dari dunia usaha yang memenuhi syarat masih belum kuat.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa likuiditas perbankan secara umum masih tergolong longgar. Namun, jika dibandingkan dengan kondisi saat pandemi Covid-19, terjadi sedikit pengetatan. Kredit perbankan pada kuartal III/2024 tumbuh sebesar 10,85% secara tahunan. Namun, rasio investasi terhadap PDB yang masih rendah dibandingkan rasio kredit menunjukkan adanya potensi besar untuk ekspansi kredit. Josua menambahkan bahwa bank cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit, meskipun likuiditas mereka cukup memadai.
Ekonom Senior LPPI, Ryan Kiryanto, sepakat bahwa likuiditas perbankan secara industri masih longgar, terlihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada di bawah 90%. Namun, Ryan juga mengakui bahwa ada perbedaan antarbank. Beberapa bank mungkin menghadapi likuiditas yang ketat akibat perbedaan strategi atau karakteristik pasar. Selain itu, ia mencatat bahwa persaingan likuiditas tidak hanya terjadi di antara bank, tetapi juga antara produk perbankan dan produk nonperbankan.
Ryan menjelaskan bahwa bank dengan likuiditas longgar sering kali mengalokasikan dana ke SBN, terutama untuk mengelola risiko kredit yang tinggi. Langkah ini juga bertujuan menjaga agar dana nasabah tetap memiliki nilai, meski tidak langsung disalurkan ke kredit.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa instrumen surat berharga menjadi bagian dari strategi investasi bank. Selain itu, surat berharga juga berfungsi sebagai penyangga likuiditas (backstop liquidity) untuk menghadapi risiko sekaligus memberikan return bagi bank. Royke menambahkan bahwa surat berharga adalah instrumen yang cukup likuid karena dapat digunakan untuk transaksi Repo atau dijual kembali.
Royke menegaskan bahwa meskipun BNI terus membeli surat berharga sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas, langkah ini tidak akan menghambat ekspansi kredit. Semua kebutuhan investasi dan ekspansi telah diperhitungkan dengan matang dalam rencana bisnis bank.
Sementara itu, EVP Corporate and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, menjelaskan bahwa BCA terus menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat. Likuiditas BCA sebagian besar berasal dari penghimpunan dana giro dan tabungan (CASA) dengan biaya bunga rendah. Pada September 2024, CASA BCA berkontribusi sekitar 82% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK), dengan pertumbuhan sebesar 5,2% mencapai Rp915 triliun.
Hera menambahkan bahwa prinsip kehati-hatian menjadi kunci dalam manajemen likuiditas BCA. Rasio LDR BCA yang tercatat sebesar 75,1% menunjukkan bank tetap berhati-hati dalam menyalurkan kredit meskipun memiliki likuiditas yang solid.
Secara keseluruhan, perbedaan pandangan ini menunjukkan dinamika dalam pengelolaan likuiditas perbankan Indonesia. Meski BI melihat kondisi likuiditas cukup longgar, beberapa bank tetap menghadapi tantangan dalam mempertahankan likuiditas di tengah persaingan pasar dan kebutuhan ekspansi kredit.
Writer