2024-07-18 13:08:45
martin SMF (foto: validnews.id)Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyediakan hunian yang layak untuk seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada tahun 2023, dari total 75 juta rumah tangga di Indonesia, 32 juta rumah tangga atau sekitar 42% tinggal di rumah yang tidak layak huni.
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT SMF, Martin Daniel Siyaranamual, mengungkapkan pandangannya tentang masalah ini dalam sebuah acara Talkshow di Cilandak, Jakarta Selatan, dikutip dari laman finance.detik.com, (21/6/2024).
Menurut Susenas BPS, 32 juta rumah tangga di Indonesia masih tinggal di rumah yang tidak layak huni. Ini menunjukkan kesenjangan besar antara kebutuhan dan penyediaan hunian yang layak di negara ini.
Martin Daniel Siyaranamual menilai, meskipun ada program ambisius dari presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, untuk membangun 3 juta rumah, ada pertanyaan besar mengenai arah dan efektivitas dari program tersebut.
Martin mempertanyakan kemana arah program 3 juta rumah yang menjadi salah satu program unggulan presiden-wakil presiden terpilih. Menurutnya, dana perumahan yang ada perlu lebih fokus pada penyediaan hunian layak, bukan hanya sekedar pembangunan rumah tanpa memperhitungkan keberlangsungan dan kualitas hunian tersebut.
Martin mengidentifikasi tiga dimensi utama dalam penyediaan hunian yang layak, yaitu:
1. Pendapatan
Pendapatan masyarakat harus diperhatikan dalam program perumahan. Bantuan perlu menjangkau masyarakat dari berbagai desil pendapatan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh hunian layak.
2. Lokasi
Dalam konteks lokasi, Martin menekankan bahwa Indonesia memiliki perbedaan signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hunian vertikal di perkotaan seperti apartemen harus menjadi solusi yang diperhitungkan, tanpa memaksa masyarakat untuk memiliki rumah tapak yang mungkin tidak realistis untuk sebagian besar penduduk urban.
3. Status Pekerjaan
Martin menyoroti sektor informal yang sangat besar di Indonesia. Sekitar 65% pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal dan banyak dari mereka tidak memiliki akses ke layanan perbankan. Oleh karena itu, produk keuangan yang mencakup sektor informal harus menjadi bagian dari solusi untuk akses hunian.
Martin menjelaskan bahwa basis penyaluran bantuan perumahan di Indonesia masih dominan mengandalkan perbankan, yang seringkali tidak mencakup semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, Martin mendorong perlunya regulasi yang lebih tepat dari pemerintah agar bantuan perumahan dapat menjangkau lebih banyak orang.
Pasar pembiayaan perumahan di Indonesia dianggap masih mahal. Pada tahun 2022, hanya 36,1% dari masyarakat yang menggunakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sisanya memilih kredit multi guna, pembayaran tunai, atau bentuk pembiayaan lainnya. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tidak sebanding dengan harga properti juga menjadi masalah, dengan inflasi yang lebih rendah dari pertumbuhan UMP.
Martin mendorong pengembangan program perumahan yang tidak hanya fokus pada jumlah unit rumah yang dibangun, tetapi juga pada kualitas hunian dan aksesibilitas bagi masyarakat yang kurang mampu.
Perlu adanya solusi pembiayaan yang lebih inklusif untuk sektor informal dan daerah pedesaan, dengan regulasi yang mendukung keberagaman produk keuangan dan subsidi yang lebih efektif.
Martin juga mengusulkan alternatif hunian seperti hunian vertikal di perkotaan sebagai solusi jangka panjang untuk masalah perumahan, serta peningkatan akses perbankan untuk semua lapisan masyarakat.
Dengan memahami tantangan yang ada dan menerapkan solusi yang tepat, kita dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan hunian yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia.